Home FeaturesMenulis untuk Pelestarian Budaya: Dari Aksara Jawa hingga Jejak Sejarah Bangsa

Menulis untuk Pelestarian Budaya: Dari Aksara Jawa hingga Jejak Sejarah Bangsa

by sj
0 comments
Menulis untuk Pelestarian Budaya: Dari Aksara Jawa hingga Jejak Sejarah Bangsa

JABARTRUST.BANDUNG, – Kamu bisa menulis, maka tulislah. Kamu bisa mengajar, maka ajarlah. Meski kamu belum mahir dalam suatu bidang, seperti aksara Jawa, melalui tulisanmu kamu tetap ikut berkontribusi memajukan dan melestarikan warisan budaya tersebut. Menulis bukan sekadar aktivitas biasa, tetapi sebuah perjuangan untuk memastikan sesuatu tidak hilang dari ingatan masyarakat dan sejarah.

Pramoedya Ananta Toer pernah menyampaikan, “Kamu boleh pintar setinggi langit, tapi kalau kamu tidak menulis maka kamu akan hilang dari ingatan masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Namun, ada sudut pandang lain yang lebih dalam: bukan hanya penulisnya yang hilang jika tidak menulis, melainkan yang lebih penting adalah objek tulisan—sejarah dan peradaban bangsa—yang bisa terkubur jika tidak didokumentasikan.

Menulis tanpa dibagikan hanya akan menjadi konsumsi pribadi, tidak berdampak luas. Seperti diungkapkan oleh akun “Bumi Pusaka” di media sosial, menulis adalah perjuangan penuh tantangan demi keabadian. Menulis juga menjadi sarana mengekspresikan ide, gagasan, dan wawasan untuk diwujudkan menjadi langkah nyata.

Contohnya bisa dilihat dari sebuah komunitas di Surabaya yang fokus memajukan aksara Jawa. Dari titik awal yang hampir nihil hadirnya aksara Jawa di kota tersebut, komunitas ini berhasil mengubah Surabaya menjadi kota yang “beraksara Jawa” — mulai dari penggunaan aksara di berbagai signage hingga inisiatif perlindungan legal melalui Raperda dan upaya memasukkan aksara Jawa dalam undang-undang.

Menulis memang menantang dan sering kali diabaikan, tetapi ia adalah cara kita berkontribusi melestarikan nilai-nilai penting. Dalam era digital, alat perjuangan telah berubah; pena dan senjata kini digantikan oleh papan tombol komputer. Menulis adalah perjuangan lahir dan batin. Perjuangan ini juga membutuhkan komitmen untuk terus belajar dan mendalami objek yang diperjuangkan, agar perjuangan semakin berarti dan nyata.

Seperti diingatkan dalam peribahasa, meskipun ada cibiran dan rintangan, “anjing menggonggong kafilah berlalu”—teruslah maju dan berkarya.

Kisah inspiratif tentang Tan Khoen Swie, penerbit sekaligus pencinta budaya Jawa, semakin menguatkan pentingnya menulis dan melestarikan kebudayaan. Lahir di Wonogiri dan menghabiskan masa di Kediri, ia menekuni bahasa dan budaya Jawa sampai fasih. Melalui penerbitannya, Boekhandel Tan Khoen Swie, yang berdiri tahun 1915, ia berhasil menerbitkan banyak karya sastra Jawa legendaris seperti Primbon Jayabaya, Serat Wedhatama, dan Serat Kalatidha—beberapa bahkan merupakan warisan ilmu kebatinan dan budaya tradisional yang kini menjadi harta bangsa.

Di Surabaya sendiri, masa perjuangan kemerdekaan juga ditandai oleh banyak pejuang yang aktif menulis dan mengabadikan sejarah. Hingga kini berdiri Monumen Pers Perjuangan sebagai penghormatan atas dedikasi mereka.

Menulis bukan hanya tentang kata-kata, tetapi tentang menjaga jejak sejarah dan budaya bangsa agar tetap hidup di tengah perubahan zaman.***

You may also like

Leave a Comment